RSS

Tag Archives: Hukum

KEBUTUHAN DIFABEL TERHADAP AKSESIBILITAS PERADILAN YANG FAIRS (dimuat di JURNAL DIFABEL vOL. I/2014 SIGAB)

KEBUTUHAN DIFABEL TERHADAP AKSESIBILITAS PERADILAN YANG FAIRS (dimuat di JURNAL DIFABEL vOL. I/2014 SIGAB)

2014-06-18 05.32.31

Oleh : Hari Kurniawan,SH

 

Abstrak

Equality before the law atau persamaan di hadapan hukum adalah salah satu asas terpenting di dalam sistem hukum modern. setiap difabel berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga diperkuat di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person with Disabilities/CRPD) yang sudah diratifikasi ke dalam Undang-undang No. 19 tahun 2011.

Di dalam membangun proses dan sistem peradilan yang fair berperspektif kebutuhan disabilitas tentu saja harus melihat faktor-faktor penegakan hukum atau faktor-faktor bagaimana hukum dapat berjalan dan memiliki nilai kepatutan. Kewajiban yang harus dilakukan negara di dalam pemenuhan Pasal 12 dan 13 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas adalah membuat kebijakan di dalam proses peradilan yang mengakomodir kebutuhan Difabel dalam konteks akses menuju keadilan sebagai konsekuensi logis dari diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Untuk itu hal pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana membenahi sistem peradilan dengan melihat difabel sebagai subyek hukum yang tentu saja sebagai subyek hukum maka kebutuhannya sebagai subyek hukum haruslah dipenuhi oleh negara dalam sistem dan proses peradilan tanpa diskriminasi. Hal yang kedua adalah bagaimana membangun sistem dan proses peradilan yang berperspektif Disabilitas. Fakta yang ada di peradilan membuktikan bahwa banyak kasus-kasus yang melibatkan difabel sebagai korban dari tindak pidana yang tidak dapat terselesaikan dengan alasan kurangnya bukti atau ketika vonis yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana jauh dari rasa keadilan. Ketidakmampuan aparat penegak hukum di dalam menangani kasus-kasus hukum yang melibatkan difabel juga menjadi penyebab beum terciptanya peradilan yang fair bagi difabel. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang apa itu difabel dan bagaimana berinteraksi terhadap difabel, karena selama ini di dalam pemahaman mereka seorang difabel dianggap tidak cakap hukum, tapi kemudian terjadi hal kontradiktif yaitu pada tingkatan pemeriksaan di peradilan disamakan dengan penanganan perkara-perkara umum. Sehingga perlu adanya peningkatan kapasitas para aparat penegak hukum dalam kaitannya menjawab kebutuhan-kebutuhan difabel.

Hambatan yang secara umum yang dialami oleh difabel ada 5 (lima) menurut Komisi Hak Asasi Manusia Australia adalah sebagai berikut: 1) Community support, programs and assistance to preventviolence and disadvantage and address a range of health and social riskfactors may not be available to some people with disabilities. (Tidak adanya dukungan dari masyarakat, program-program dan bantuan untuk mencegah terjadinya kekerasan dan keadaan merugikan, dan mengatasi kemungkinan tidak terpenuhinya berbagai faktor kesehatan dan sosial bagi Difabel). 2) People with disabilities do not receive the support, adjustments or aids they need to access protections, to begin or defend criminal matters, or to participate in criminal justice processes. 3) Negative attitudes and assumptions about people with disabilities often result in people with disabilities being viewed as unreliable, not credible or not capable of giving evidence, making legal decisions or participating in legal proceedings.4) Specialist support, accommodation and programs may not beprovided to people with disabilities when they are considered unable tounderstand or respond to criminal charges made against them (‘unfit toplead’).5) Support, adjustments and aids may not be provided to prisoners with disabilities so that they can meet basic human needs and participate in prison life.

Adapun kebutuhan-kebutuhan Difabel terhadap aksesibilitas peradilan yang fair bisa disumpulkan sebagai berikut: 1) Assessment; 2) Pendamping; 3) Penterjemah; 4) Lingkungan Peradilan yang aksesibel; 5) Pemeriksaan yang memperhatikan daya focus; 6) Pemeriksaan yang lebih Fleksibel; 7) Kapasitas Aparat Penegak Hukum yang mengerti dan memahami Difabel; 8) Bantuan Hukum

Pendahuluan

Equality before the law atau persamaan di hadapan hukum adalah salah satu asas terpenting di dalam sistem hukum modern. Asas Persamaan dihadapan hukum di Indonesia sendiri termaktub dengan jelas di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke dua. Didalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke dua dikatakan bahwa”

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

 

Menilik dari Pasal 28 ayat (1) D UUD 1945 Amandemen ke dua ini berarti menempatkan setiap orang untuk mendapatkan hak yang sama di hadapan hukum dengan tanpa mencederai rasa keadilan baik di dalam maupun di luar proses peradilan.

Sudah barang tentu hal tersebut juga berlaku bagi difabel di hadapan hukum. Karena bagaimanapun juga difabel merupakan entitas hukum. Sehingga setiap difabel berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga diperkuat di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person with Disabilities/CRPD) yang sudah diratifikasi ke dalam Undang-undang No. 19 tahun 2011. Dalam Pasal 12 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas diatur tentang Kesetaraan Pengakuan Di Hadapan Hukum. Pada Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas diatur tentang Akses Terhadap Keadilan. Dengan diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas ke dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2011 menimbulkan kewajiban terhadap Negara untuk memenuhi apa yang sudah datur di dalamya termasuk ketentuan yang ada di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Kewajiban yang harus dilakukan negara di dalam pemenuhan Pasal 12 dan 13 adalah membuat kebijakan di dalam proses peradilan yang mengakomodir kebutuhan Difabel dalam konteks akses menuju keadilan sebagai konsekuensi logis dari diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Untuk itu hal pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana membenahi sistem peradilan dengan melihat difabel sebagai subyek hukum yang tentu saja sebagai subyek hukum maka kebutuhannya sebagai subyek hukum haruslah dipenuhi oleh negara dalam sistem dan proses peradilan tanpa diskriminasi. Hal yang kedua adalah bagaimana membangun sistem dan proses peradilan yang berperspektif Disabilitas.

Berbicara tentang subyek hukum di dalam sistem hukum di Indonesia ada dua yaitu Subyek Hukum Manusia (Natuurlijke person/mens person) dan Badan Hukum (Recht Person). Dalam penulisan ini yang kita bahas lebih lanjut adalah Subyek Hukum Manusia. Manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku.  Melihat hal tersebut difabel juga merupakan Subyek Hukum yang tentu saja memiliki hak dan mampu menjalankan hak sehingga kepentingannya sudah tentu dilindungi dan dijamin oleh Perundang-undangan yang berlaku.

Negara harus menjamin dan mengakui bahwa difabel merupakan subyek hukum yang setara dengan lainnya di semua aspek kehidupan. Kewajiban negara ini merupakan konsekuensi sebagai negara yang sudah meratifikasi Konvensi Hak-hak Difabel dikarenakan hal tersebut sudah diatur di dalam Pasal 12 ayat (2) Konvensi Hak-hak Difabel.

Demikian juga di dalam proses Peradilan, segala hak dan kebutuhan difabel haruslah dijamin, dipenuhi dan dilindungi tanpa diskriminasi seperti halnya individu yang lain. Banyak sekali kebutuhan-kebutuhan yang harus dijamin dan dipenuhi oleh negara terkait dengan difabel dalam proses peradilan. Jaminan dan pemenuhan kebutuhan difabel di dalam proses peradilan oleh negara merupakan bentuk diskresi lembaga peradilan terhadap perkara-perkara yang dialami oleh difabel baik dalam proses peradilan pidana maupun perdata, seperti halnya perkara-perkara hukum yang dialami oleh Anak dan di dalam penanganannya dilakukan diskresi dikarenakan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana maupun HIR/RBg (Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata) masih belum ada ketentuan-ketentuan khusus berkenaan dengan difabel.  Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan sesuatu tindakan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, Undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan[1].    

 Membangun Sistem Peradilan Yang Fairs Bagi Difabel

Menjawab tentang bagaimana difabel dapat menjangkau peradilan yang fairs tentu saja penyelenggara negara harus membangun proses dan sistem peradilan yang berperspektif kebutuhan disabilitas. Di dalam membangun proses dan sistem peradilan yang fairs berperspektif kebutuhan disabilitas tentu saja harus melihat faktor-faktor penegakan hukum atau faktor-faktor bagaimana hukum dapat berjalan dan memiliki nilai kepatutan.

Menurut Soerjono Soekanto secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[2]

Menurut Wayne La Favre Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).[3]

Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya demikian, sehingga pengertian lawenforcement begitu popular.[4]

Sehingga menurut penulis perlunya dilakukan terobosan hukum dalam menegakkan hukum dan tidak terpaku pada nilai-nilai yang tercantum di dalam perundang-undangan an sich, agar nilai kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, dan keseimbangan dapat tercapai. Dalam konteks Disabilitas selama ini, disabilitas sering mengalami diskriminasi di dalam mencari keadilan, hak-haknya tercabik-cabik dalam konteks peradilan sehingga bagi Difabel adalah suatu hal yang muskil untuk terpenuhinya nilai-nilai kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, dan keseimbangan.

Fakta yang ada di peradilan membuktikan bahwa banyak kasus-kasus yang melibatkan difabel sebagai korban dari tindak pidana yang tidak dapat terselesaikan dengan alasan kurangnya bukti atau ketika vonis yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana jauh dari rasa keadilan. Misalnya saja terhadap kasus yang perkosaan di Jember tahun 2007 dimana yang menjadi korbannya adalah seorang perempuan difabel yang mengalami gangguan pendengaran (tuna rungu) yang pada saat itu berusia 23 tahun dengan putusan bebas terhadap pelaku perkosaan tersebut, dalam pertimbangan hakim pada putusan tersebut dakwaan jaksa terhadap pelaku tidak terbukti dan tidak memenuhi syarat formil, padahal perkosaan tersebut menyebabkan korban hamil. Sungguh ini sebuah ironi yang terjadi di dunia hukum dan peradilan kita bahwa hukum seakan enggan memberikan rasa peradilan yang fairs terhadap difabel.

Contoh lainnya adalah perkara  yang dialami J seorang perempuan difabel yang mengalami gangguan pendengaran (tuna rungu)[5] yang menjadi korban tindak asusila tetangganya sendiri berinisial TS, 61, sehingga J hamil. J bersama keluarganya dan PPRBM serta Masyarakat Wonogiri Peduli Perempuan dan Anak (MWPPA) telah melaporkan kasus tersebut ke Polsek Girimarto dan Polres Wonogiri pada awal Januari 2014 lalu. Namun, sampai saat ini kasus itu tidak diproses dengan alasan tidak ditemukan unsur pidana. 

Hal ini menambah preseden buruk bagi terciptanya peradilan yang fairs bagi Difabel di Indonesia. Sehingga sekali lagi perlunya dipenuhi kebutuhan difabel dalam peradilan agar tercapai peradilan yang fairs, apalagi menurut Endang Ekowarni[6]  korban difabel tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri maupun menuntut keadilan bahkan cenderung tidak percaya, disalahkan, dipojokkan meskipun jelas korban mengalami penderitaan fisik, mental dan sosial.

Ketidakmampuan aparat penegak hukum di dalam menangani kasus-kasus hukum yang melibatkan difabel juga menjadi penyebab beum terciptanya peradilan yang fairs bagi difabel. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang apa itu difabel dan bagaimana berinteraksi terhadap difabel, karena selama ini di dalam pemahaman mereka seorang difabel dianggap tidak cakap hukum, tapi kemudian terjadi hal kontradiktif yaitu pada tingkatan pemeriksaan di peradilan disamakan dengan penanganan perkara-perkara umum. Sehingga perlu adanya peningkatan kapasitas para aparat penegak hukum dalam kaitannya menjawab kebutuhan-kebutuhan difabel. Pasal 13 ayat (2) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menegaskan adanya kewajiban negara untuk meningkatkan pelatihan yang sesuai bagi mereka yang bekerja di bidang penyelenggaraan hukum, termasuk polisi dan sipir penjara.

Ketidakmampuan Aparat Penegak Hukum dalam perkara-perkara yang melibatkan difabel juga di dukung oleh sistem hukum di Indonesia yang memang belum fairs bagi difabel dan tentu saja hal ini membutuhkan adanya sistem hukum yang berpihak dan menjawab kebutuhan difabel, sistem hukum di Indonesia saat ini masih belum berpihak pada difabel. Di dalam KUHAP misalnya untuk definisi saksi tentu saja melemahkan bagi difabel dengan gangguan pendengaran (tuna rungu) dan gangguan penglihatan (tuna netra) untuk menjadi seorang saksi, hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP menyatakan:

 “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri  dan ia alami sendiri”.     

Dari Pasal 1 angka 26 KUHAP disini jelas hal ini sangat diskriminatif terhadap difabel. Sedangkan di dalam buku 1 KUHPerdata Pasal 433 difabel haruslah di bawah pengampuan dan dianggap tidak cakap hukum, sehingga tidak boleh melakukan tindakan hukum apapun termasuk perjanjian, dan hal itu diperkuat dengan Pasal 1320 KUHPerdata juga dinyatakan bahwa salah satu syarat sah suatu perjanjian adalah seorang yang cakap hukum.  Pasal 433 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke dua dan Pasal 12 ayat (2) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Di dalam Pasal 12 ayat (2) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dikemukakan bahwa:

“Negara-Negara Pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas merupakan subyek hukum yang setara dengan lainnya di semua aspek kehidupan.”

 

Sehingga perlu adanya perubahan sistem Hukum dan Peradilan di Indonesia yang tentu saja harus berperspektif Difabel. Dengan adanya sistem Hukum dan Peradilan yang berperspektif difabel hal ini tentu saja akses terhadap keadilan bagi difabel dapat terwujud, dan terpenuhinya nilai-nilai kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, dan keseimbangan. Sehingga dengan adanya sistem hukum yang berperspektif difabel, maka menurut penulis hal itu bisa dikatakan sebagai universal legal capacity maksudnya apabila difabel saja dapat terpenuhi aksesnya terhadap peradilan yang fairs tentu hal ini juga berlaku sama terhadap setiap individu di muka bumi ini.

Hambatan Difabel Terhadap Aksesibilitas Peradilan Yang Fair

Untuk menjamin sebuah peradilan yang fair bagi disabilitas maka sudah seharusnya adanya perlakuan yang setara di dalam akses terhadap peradilan bagi Difabel dan tentu saja sudah tidak ada hambatan lagi yang dialami oleh difabel dalam akses terhadap peradilan. Untuk itu kita perlu menguraikan hambatan-hambatan yang sering dialami oleh Difabel dalam aksesibilitas peradilan. Hambatan-hambatan itu itu ada yang secara umum dan ada yang tergantung dari jenis-jenis disabilitasnya. Hambatan yang secara umum yang dialami oleh difabel ada 5 (lima) menurut Komisi Hak Asasi Manusia Australia[7] adalah sebagai berikut:

  1. Community support, programs and assistance to preventviolence and disadvantage and address a range of health and social riskfactors may not be available to some people with disabilities. (Tidak adanya dukungan dari masyarakat, program-program dan bantuan untuk mencegah terjadinya kekerasan dan keadaan merugikan, dan mengatasi kemungkinan tidak terpenuhinya berbagai faktor kesehatan dan sosial bagi Difabel).
  2. People with disabilities do not receive the support, adjustments or aids they need to access protections, to begin or defend criminal matters, or to participate in criminal justice processes. (Difabel tidak menerima dukungan, aksesibilitas atau bantuan yang mereka butuhkan untuk mendapatkan perlindungan, untuk memulai atau mempertahankan persoalan-persoalan pidana, atau untuk berpartisipasi di dalam proses peradilan pidana).
  3. Negative attitudes and assumptions about people with disabilities often result in people with disabilities being viewed as unreliable, not credible or not capable of giving evidence, making legal decisions or participating in legal proceedings. (Stigma-stigma dan asumsi-asumsi negatif tentang Difabel yang dilihat sebagai seseorang tidak mampu melakukan apa-apa, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atau tidak dapat membuktikan, membuat pertimbangan-pertimbangan hukum atau berpartisipasi dalam proses hukum).
  4. Specialist support, accommodation and programs may not beprovided to people with disabilities when they are considered unable tounderstand or respond to criminal charges made against them (‘unfit toplead’). (Hambatan dukungan spesialis, akomodasi dan program-program tidak tersedia bagi difabel ketika mereka tidak mampu memahami atau menaggapi penuntutan pidana (tidak layak untuk mengajukan permohonan).
  5. Support, adjustments and aids may not be provided to prisoners with disabilities so that they can meet basic human needs and participate in prison life. (Hambatan dukungan, penyesuaian diri dan tidak tersedianya alat bantu untuk terpidana yang difabel sehingga Hak-hak dasar mereka terpenuhi dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan di penjara).

Sebelum membahas kebutuhan Difabel dalam akses ibilitas peradilan yang fair ada baiknya perlu diketahui ada beberapa kategori besar pembagian kategori Difabel berdasarkan International Classification of Functioning Health and Disability (ICF) adalah sebagai berikut:

  1. Kategori intelektual
  2. Kategori Mobilitas
  3. Kategori Komunikasi
  4. Kategori Sensori
  5. Kategori Psikososial

Difabel yang termasuk di dalam Kategori Intelektual[8] adalah sebagai berikut:

  1. Retardasi Mental (Tuna Grahita)
  2. Lamban Belajar (slow learner)

Sedangkan yang masuk di dalam kategori Mobilitas[9] adalah sebagai berikut:

  1. Gangguan Anggota Tubuh (kaki, tangan, dll)
  2. Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Cerebral Palsy
  3. Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Spina Bifida
  4. Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Spinal Cord Injury (Cedera Tulang Belakang)
  5. Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Amputasi
  6. Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Paraphlegia
  7. Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Hemiphlegia

Difabel Psikososial bisa dilihat di bawah ini:

  1. Autism
  2. Gangguan Perilaku dan Hiperaktivitas (ADHD)
  3. Kleptomani
  4. Bipolar
  5. Gangguan Kesehatan Jiwa

Difabel yang termasuk kategori Komunikasi[10] adalah

  1. Gangguan Wicara
  2. Gangguan Pendengaran
  3. Autis
  4. ADHD
  5. Tuna Grahita Berat

Yang termasuk kategori Sensorik[11] adalah sebagai berikut:

  1. Gangguan Pendengaran
  2. Gangguan Penglihatan
  3. Kusta

Namun disamping ke lima kategori besar ini ada lagi kategori multiple disabilitas, misalnya orang dengan gangguan pendengaran dan wicara, orang dengan gangguan penglihatan dan pendengaran, cerebral palsy dengan mental retardasi dan sebagainya.

            Hambatan-hambatan yang dialami dari masing-masing kategori bisa dijelaskan di bawah ini:

  1. Kategori Intelektual, memiliki Hambatan terhadap Akses Peradilan yang Fair sebagai berikut:
  2. Memahami/penalaran terhadap perkara yang dihadapi (penaralan)
  3. Menyampaikan
  4. Umur kalender tidak sama dengan umur mental
  5. Daya ingat tidak terlalu kuat
  6. Emosi yang tidak terkendali dan trauma
  7. Kategori Mobilitas memiliki hambatan tidak aksesnya sebuah bangunan fisik sangat sering dirasakan oleh disabilitas yang masuk dalam kategori mobilitas, misalnya saja bangunan yang mempunyai anak tangga, lantai yang licin akan menyulitkan mobilitas mereka, apalagi apabila bangunan tersebut mempunyai lantai lebih dari satu dan disabilitas kategori mobilitas dengan segala keterbatasannya tidak akan mampu menuju ruangan lantai dua dan lantai-lantai diatasnya sehingga membutuhkan bantuan orang lain atau adanya assistive device seperti kursi roda ataupun fasilitas-fasilitas gedung yang sesuai konsep universal design yaitu dengan pintu geser dan lebar, ramp, lift.[12]
  8. Kategori Psikososial memiliki hambatan sebagai berikut:
  9. Tidak Dapat Mengontrol Perilaku dan Emosi
  10. Tidak Dapat Fokus
  11. Hambatan Komunikasi
  12. Hambatan Menafsirkan
  13. Banyak Menghayal
  14. Sensitif (terlalu peka)
  15. Impulsif (tidak bisa menahan diri)
  16. Kategori Sensorik memiliki hambatan sebagai berikut:
  17. Aksesibilitas Fisik dan Non Fisik
  18. Tidak Merasa Sakit Pada Anggota Gerak Badan Khusus Penderita Kusta
  19. Kategori Komunikasi memiliki hambatan sebagai berikut:
  20. Tidak mampu komunikasi lisan
  21. Bahasa yang susah dipahami
  22. Ketidakmampuan Mendengar

 Kebutuhan Difabel Terhadap Aksesibilitas Peradilan Yang Fair

Untuk mengatasi hambatan yang dialami oleh Difabel terhadap aksesibilitas peradilan yang fair maka tentu saja harus dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan Difabel terhadap aksesibilitas peradilan yang fair tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain:

  1. Assessment

Assessment terhadap Difabel diperlukan berdasarkan kategori difabelnya yang bertujuan untuk mencari model pemeriksaan dan kebutuhan yang tepat bagi difabel dalam proses peradilan. Assessment sebaiknya dilakukan pada tingkat pemeriksaan awal yaitu di dalam tahap penyidikan dan penyelidikan, dan kemudian . Untuk Kategori Intelektual, assessment merupakan kebutuhan untuk mengetahui sejauh mana tingkat penalaran dan daya fokus mereka terhadap perkara yang dihadapi dan metode yang tepat dalam pemeriksaan dan pencarian alat bukti serta untuk menentukan perbedaan umur kalender dan umur mental pada disabilitas intelektual. Untuk Kategori Psiko-sosial assessment diperlukan untuk menentukan kemampuan bertanggung jawab ketika dia menjadi pelaku tindak pidana, dan juga untuk menggali kemampuan dia dalam memahami perkara.  

  1. Pendamping

Pendamping diperlukan untuk kenyamanan Difabel dalam proses peradilan, sehingga proses pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar. Siapa yang dapat menjadi pendamping difabel dalam proses peradilan? Jawabannya  adalah orang terdekat, yaitu orang yang dipercaya difabel dan dia merasa nyaman dengan adanya pendamping tersebut dalam pemeriksaan pada proses peradilan. 

  1. Penterjemah

Demikian juga dengan Penterjemah, diperlukan oleh difabel terutama difabel dengan gangguan pendengaran, gangguan wicara, gangguan pendengaran yang disertai wicara (tuna rungu wicara), difabel dengan Cerebral Palsy Otot Mulut, Difabel dengan gangguan penglihatan yang disertai gangguan pendengaran (deaf/blind). Penterjemah bahasa isyarat lebih dibutuhkan oleh difabel dengan gangguan pendengaran, gangguan pendengaran dan wicara (tuna rungu wicara), gangguan penglihatan yang disertai gangguan pendengaran (deaf/blind). Penterjemah tidak harus dari guru SLB melainkan bisa dari organisasi difabel maupun dari orang terdekat yang mengerti bahasa dan komunikasi difabel, mengapa hal ini diperlukan agar ketika dilakukan pemeriksaan dapat tergali alat-alat bukti yang berkaitan dengan perkara dalam proses peradilan.

  1. Lingkungan Peradilan yang aksesibel

Lingkungan peradilan yang aksesibel dalam hal ini memudahkan Difabel untuk menjangkau peradilan. Lingkungan peradilan yang aksesibel harus mencakup dua aspek aksesibilitas, yaitu aksesibilitas Fisik maupun non fisik.

Aksesibilitas Fisik dimaknai sebagai tersedianya fasilitas bagi penyandang disabilitas untuk menghampiri, memasuki, menjangkau lingkungan peradilan tanpa hambatan. Ruang pengadilan hendaknya dilengkapi dengan fasilitas fisik, sehingga penyandang disabilitas dapat mengakses ruang pengadilan tanpa bantuan orang lain. Fasilitas fisik yang dimaksud antara lain:[13]

  1. Pintu masuk ruang pemeriksaan yang lebar dengan sistem geser.
  2. Guiding block.
  3. Hand-rail.
  4. Lift.
  5. Tempat parkir khusus penyandang disabilitas.
  6. Toilet duduk yang mempunyai ruangan luas dan pintu geser.
  7. Ramp yang cukup landai.
  8. Tangga memiliki rel terus menerus di kedua sisi, dengan ekstensi luar tangga atas dan bawah.
  9. Petunjuk taktual (dapat diraba) yang diletakkan pada pintu masuk setiap ruang pemeriksaan di peradilan.
  10. Kursi roda.
  11. Petugas yang siap memberikan informasi dan melayani penyandang disabilitas serta mengantarkan penyandang disabilitas ke ruang pemeriksaan terutama di bagian penerima tamu.
  12. Lantai ruangan yang tidak licin.
  13. Ruang persidangan di lantai 1.
  14. Alat transportasi yang aksesibel dari dan menuju ke pengadilan. Misalnya kendaraan untuk menjemput terdakwa dari gedung penahanan ke pengadilan.
  15. Tersedianya penterjemah bahasa isyarat pada setiap pemeriksan.
  16. Tersedianya berita acara pemeriksaan sampai putusan dalam bentuk cetak Braille atu audio book.
  17. Running text yang menunjukkan jadwal sidang disertai jam dan ruangan untuk kebutuhan tuna rungu.

Aksesibilitas non-fisik yang dimaksud adalah tersedianya kebijakan afirmatif terhadap peyandang disabilitas dalam setiap layanan yang ada di pengadilan yaitu dengan mendahulukan pelayanan dan pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas pada semua tingkatan pemeriksaan.[14]

  1. Pemeriksaan yang memperhatikan daya fokus

Daya Fokus untuk kategori Difabel Intelektual dan Psikososial tidak bisa terlalu lama, sehingga diperlukan pemeriksaan yang efektif, diperlukan pertanyaan dengan bahasa yang mudah dipahami mereka. Namun kondisi pemeriksaan sekali lagi harus dikondisikan dalam keadaan tidak ada tekanan.

  1. Pemeriksaan yang lebih Fleksibel

Semua pemeriksaan untuk semua kategori disabilitas diharapkan bisa lebih fleksibel dengan tidak terlalu lama dan tidak penuh tekanan, namun lebih kekeluargaan sehingga mereka dapat mengungkapkan apa yang mereka rasakan.

  1. Kapasitas Aparat Penegak Hukum yang mengerti dan memahami Difabel

Richard Whittle[15] mengungkapkan salah satu hal yang penting yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas salah satunya adalah menyelenggarakan pelatihan kesetaraan hak Difabel bagi Aparat Penegak Hukum (provide adequate training on disability equalitywithin the justice sector), hal ini dilakukan agar Apart Penegak Hukum memahami hambatan akses peradilan yang dialami Difabel dan dampak-dampak yang ditimbulkan dari diskriminasi bagi difabel di berbagai sektor.

 

  1. Bantuan Hukum

Bantuan hukum untuk Difabel menurut Franchis Gibson[16] merupakan hak yang harus dipenuhi oleh negara, secara tegas pasal 13 Konvensi Hak-hak Penyandang Difabel memberikan parameter khusus tentang hak mendapatkan bantuan hukum bagi difabel (This article examines the parameters of this right in particular in relation to a right to legal aid).

Di dalam skema Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Difabel bukan termasuk kelompok atau orang miskin yang berhak mendapatkan bantuan hukum, dikarenakan parameter miskin dalam implementasi Undang-undang tersebut hanya sebatas miskin secara ekonomi, padahal jika dilihat difabel di Indonesia adalah termasuk kelompok yang dimiskinkan baik secara structural kebijakan negara, maupun konstruksi social yang ada. Sehingga bantuan hukum yang merupakan salah satu hak Difabel untuk mendapatkan peradilan yang fairs harus segera dipenuhi oleh negara.

  1. Penutup

Negara harus memenuhi kebutuhan difabel terhadap aksesibilitas peradilan yang fair, karena bagaimanapun difabel merupakan bagian dari entitas bangsa. Negara juga harus membuat sistem hukum yang berpihak kepada Difabel dengan memperhatikan universal legal capacity. Proses penegakan hukum dan peradilan yang fair harus didasari oleh nilai-nilai kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, dan keseimbangan.

Untuk memenuhi kebutuhan Difabel terhadap Akses Peradilan yang fair harus memperhatikan hambatan-hambatan berdasarkan kategori difabel yang ada menurut International Classification of Functioning Health and Disability (ICF). Adapun kebutuhan-kebutuhan Difabel terhadap aksesibilitas peradilan yang fair bisa disumpulkan sebagai berikut:

  1. Assessment
  2. Pendamping
  3. Penterjemah
  4. Lingkungan Peradilan yang aksesibel
  5. Pemeriksaan yang memperhatikan daya fokus
  6. Pemeriksaan yang lebih Fleksibel
  7. Kapasitas Aparat Penegak Hukum yang mengerti dan memahami Difabel
  8. Bantuan Hukum

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Australian Human Right Commision, 2014. Equal Before The Law:Towards Disability Justice Strategies. Australian Human Rights Commision. 

M.Syafi’ie, dkk. 2014. Pemenuhan Hak Atas Peradilan Yang Fair Bagi PenyandangDisabilitas. PUSHAM UII. Yogyakarta

—————–. 2014. Potret Difabel Berhadapan Dengan Hukum Negara, SIGAB, Yogyakarta

Puspa, Yan Pramadya .1977. Kamus Hukum. Aneka Ilmu. Semarang

Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011

Whittle. Richard. 2012. Access to Justice And Article 13 UNCRPD. Sheffiled Hallam University.

Jurnal-jurnal

Gibson, Franchis. Article 13 of the Convention on Rights of Persons with Disabilities – ARight to Legal Aid?, hal. 1,(http://www.academia.edu/207906/Article_13_of_the_Convention_on_Rights_of_Persons_with_Disabilities_-_A_Right_to_Legal_Aid), diakses tanggal 22 April 2014

Internet:

PENCABULAN WONOGIRI: POLRES DINILAI TAK-TANGGAPI DIFABEL AKHIRNYA LAPOR POLDA (http://www.solopos.com/2014/01/27/pencabulan-wonogiri-polres-dinilai-tak-tanggapi-difabel-akhirnya-lapor-polda-485318), diakses tanggal 4 Maret 2014

 

[1] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum. Aneka Ilmu. Semarang, 1977. hlm. 91

[2] Soerjono Soekanto,  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011. hlm. 5

[3] Ibid, hlm. 7

[4] Ibid.

[5]PENCABULAN WONOGIRI: POLRES DINILAI TAK-TANGGAPI DIFABEL AKHIRNYA LAPOR POLDA (http://www.solopos.com/2014/01/27/pencabulan-wonogiri-polres-dinilai-tak-tanggapi-difabel-akhirnya-lapor-polda-485318), diakses tanggal 4 Maret 2014

[6]M.Syafi’ie, dkk. 2014. Potret Difabel Berhadapan Dengan Hukum Negara, SIGAB, Yogyakarta. hlm. 167

[7] Australian Human Right Commision, 2014. Equal Before The Law:Towards Disability Justice Strategies. Australian Human Rights Commision.  hal. 8

[8]  M.Syafi’ie, dkk. 2014. Pemenuhan Hak Atas Peradilan Yang Fair Bagi PenyandangDisabilitas. PUSHAM UII. Yogyakarta. hal. 53-54

[9] Ibid. hal. 64-67

[10] Ibid.hal. 98-102

[11] Ibid. hal.85-91

[12]  Ibid. hal. 68

[13]  Ibid. hal.92

[14] Ibid. hal. 93

[15] Richard Whittle. 2012. Access to Justice And Article 13 UNCRPD. Sheffiled Hallam University), hal. 5

[16] Franchis Gibson, Article 13 of the Convention on Rights of Persons with Disabilities – ARight to Legal Aid?, hal. 1, (http://www.academia.edu/207906/Article_13_of_the_Convention_on_Rights_of_Persons_with_Disabilities_-_A_Right_to_Legal_Aid), diakses tanggal 22 April 2014

 
3 Comments

Posted by on June 19, 2014 in Difabilitas

 

Tags: , , , ,